The Story Behind Coal: Case Study ITMG
Sesuai janji saya kemarin, hari ini kita akan bahas batubara lagi. Tapi kita hari ini panggungnya ITMG ya. Mari kita mulai.
THE BIG WHY???
Sebelum masuk ke emitennya, pahami dulu story nya. Dan kembali story bermula dari supply dan demand. Supply nya dulu ya. Bukan rahasia lagi kalau istilah ESG sudah nempel diotak kita. Tiap buka CNBC tahun 2020, 2021 bunyinya coal sunset trus. Mengapa begitu? Karena memang fakta kalau coal itu sangat tidak ramah lingkungan (anda bisa google image PLTU batubara). Lantas apa? Bank bank besar di luar negeri sangat selektif dalam memberikan pinjaman pada perusahaan non ESG, dan kalau kasih pun bunganya ya tinggi. Akibatnya apa? Yup betul. Underinvestment in coal sector. Mau expand ya butuh modal, modalnya dipersulit, dan instead di reserve semua buat company ESG. Apa lagi? Yes, overinvestment in ESG sector. Sudah overinvested saja, output/ kontribusinya masih belum signifikan. Kita lanjut ya.
Apakah ada cara untuk membuat coal lebih ramah lingkungan? Yes ada, namanya carbon capture. Silahkan google sendiri, artikel wikipedia sangat insightful, dan anda akan berkata "wow, keren juga". Singkatnya ya anda anggap saja seperti bila makan di resto korea dan manggang daging, akan ada alat diatasnya untuk menyedot uap. Nah di coal juga, nanti carbon nya akan di capture agar tidak beredar ke lingkungan, dan di timbun di bawah tanah yang dalam dan rapat (agar tidak keluar ke permukaan). Saya lampirkan pada foto dibawah ya. Sayangnya in practice, masih sedikit sekali yang seperti ini. Bahkan di negara maju dan mapan seperti US, masih sedikit sekali. Why? Karena secara cost sangatlah mahal. Ya kita harapkan aja kedepannya bisa muncul teknologi baru yang lebih efisien, tapi it's not gonna happen in the near future.
Oke kita summarize sementara ya. Jadi demand listrik semakin tahun makin naik, karena populasi yang meningkat, dan juga usage per capita yang meningkat seiring majunya teknologi. Tapi dari sisi supply, grow nya sangat pelan karena underinvestment. Dan tibalah covid, demand tiba tiba menurun dikarekan lockdown sana sini. Alhasil coal turun hingga mencapai $50/ ton. Namun satu hal yang harus disadari adalah lockdown juga mengurangi output coal (supply). Dan ketika ekonomi mulai recover di akhir 2020, demand coal kembali ke normal, harga coal naik tinggi. Wait, there's more.
Di akhir 2021 coal sempat merocket hingga 270. Lalu China menggenjot supply dan coal cooling down menjadi 150 (ini masih sangat tinggi lo). Pada Januari 2022, Indonesia ban ekspor coal dan harga meroket hingga 200. Pada akhir Februari terjadi perang Rusia dan harga naik diatas 300 hingga sekarang. Itu gambaran singkatnya ya. And again, there's more.
Perang Rusia Ukraina juga memaksa Uni Eropa untuk mengurangi ketergantungan mereka pada coal, oil, gas Russia. Lantas listrik mereka darimana dong? Untuk gas, butuh bangun infrastruktur 2+ tahun daj investasi yang sangat mahal, mustahil digenjot mendadak. Yang bisa digenjot mendadak adalah coal, tinggal beli, dikirim pakai kapal, trus bayar de.
Bagus dong pak Indo kecipratan order coal Eropa? Ngaco. Anda google world map, lihat seberapa jauh kita dengan Jerman. Ibaratnya kalau kirim coal ke China butuh 14 hari, ke Eropa sana bisa 40+ hari. Jadi bukan masalah duit aja, tapi pengiriman barangnya sendiri juga sangat makan waktu (btw, ini good for shipping lo). Kalau ada orderan Eropa pun seharusnya tidak signifikan, mereka ambilnya dari South Africa dan Columbia. ITMG tahun 2021 ada orderan ke Eropa? Ngga, itu aslinya dikirimnya ke Bangladesh kalau tidak salah (ITMG nya ngomong sendiri). Trus kita pestanya gimana? Ya kita kecipratan karena ASP nya naik. Sama kaya SMDR yang kecipratan freight rate yang tinggi. Intinya ya tetap happy.
Nah sekarang yang ditunggu tunggu, kita bahas itung itungannya ya. Ingat kalau revenue= ASP*Volume. Dari segi volume, ITMG menargetkan produksi 18 juta ton, sedangkan produksi di Q1 hanya 3,8 juta ton dikarenakan faktor cuana. Artinya kita bisa mengharapkan kenaikan volume sekitar 20% untuk Q2,3,4. Bagaimana dengan price? Daripada saya asal ngomong, lebih baik kita kutip dari sumber yang lebih kredibel ya. Pak Yulius Ghozali (orang ITMG) menyampaikan kalau ASP ITMG terdiskon 15% dari newcastle index. Dan ketika awal Maret 2022 beliau ditanya soal prediksi ASP newcastle 2022, beliau menjawab 170 an. Jawaban tersebut menggunakan asumsi konservatif, kalau perang dapat segera berakhir.
Well, 3 bulan berlalu dan apa hasilnya? War masih panas dan belum ada sign slowing down. Artinya bila kita mengasumsi ASP newcastle di 230, yang berarti SP ITMG di 200, boleh boleh saja dong? Saya rasa angka ini reasonable enough. Apa dampaknya pada kinerja Q2,3,4? Bila di Q1 saja perusahaan mampu meraih laba 3T dengan ASP 150 (padahal ada larangan ekspor 1 bulan), bagaimana dengan Q2,3,4 yang secara volume naik dan ASP naik? Laba 5T? Aminin saja ya.
That's why saya long di coal dan long di ITMG. Untuk target harga sendiri, anda bisa lihat di postingan saya yang sebelumnya. Sekian dan terima kasih.
Salam Cuan,
Filbert
Comments
Post a Comment