Financial Check Up (Value Investing: Lesson 3)
Anda sedang membaca artikel ketiga dari seri "Value Investing". Untuk mengakses artikel lainnya, anda bisa klik link dibawah ini:
-Lesson 1: 6 Types of Company (Part 1)
-Lesson 2: 6 Types of Company (Part 2)
-Lesson 3: Financial Check Up
-Lesson 4: Metode Valuasi PER (Case Study TOTL)
-Lesson 5: Metode Valuasi PER (Case Study MTDL)
-Lesson 6: Metode Valuasi Net-Net (Case Study ADMG)
-Lesson 7: Metode Valuasi Asset Plays (Case Study BSDE)
-Lesson 8: Cyclical Opportunity (Case Study TBLA)
-Lesson 9: When to Sell & Money Management
1. Modified DER
Seperti yang kita bahas pada Lesson 1, yaitu rasio yang melambangkan hutang berbunga perusahaan dibagi dengan total ekuitas. Hutang berbunga pada umumnya berupa hutang bank, hutang obligasi, dan medium/senior term notes. Hutang berbunga bisa diibaratkan sebagai gula, dimana bila terlalu banyak akan berisiko menimbulkan diabetes, dimana pasien diabetes akan sulit untuk recover bila ada luka. Bila perusahaan terlalu banyak memiliki hutang berbunga, maka ketika terjadi force majeure maka kemungkinan perusahaan membukukan rugi yang sangat besar hingga menggerus ekuitas perusahaan sangatlah besar. Sebagai contoh, WSKT yang pada akhir Desember 2019 memiliki hutang berbunga senilai 70 T, harus menderita kerugian signifikan dan kehilangan setengah ekuitasnya pada tahun 2020. Oleh karenanya, saya menerapkan bahwa modified DER suatu perusahaan harus dibawah 40%. Kita bisa melakukan pengecualian bila perusahaan tersebut berada pada industri konstruksi atau perusahaan tersebut sedang agresif dalam melakukan ekspansi, maka boleh saja bila modified DER nya melebihi 40% namun batas maksimal yang diperbolehkan adalah 100%.
2. Cash Flow
Sederhananya, operating cash flow wajib bernilai positif, kecuali jika perusahaan sedang agresif melakukan ekspansi yang berarti perusahaan perlu mengeluarkan sejumlah kas yang sangat besar untuk menambah jumlah persediaan baru (seperti pada emiten HRTA). Lantas, apa yang menyebabkan operating cash flow negatif merupakan pertanda buruk pada perusahaan diluar kategori FG? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu mengingat kalau sesuai namanya, operating cash flow menggambarkan aliran kas yang terjadi pada aktivitas operasi suatu perusahaan, dimana kas kita meningkat bila kita menerima kas dari customer dan dari pendapatan bunga. Dilain sisi, kas kita akan berkurang disaat kita membayar supplier, gaji, biaya overhead, beban bunga, dan juga pajak. Artinya, bila operating cash flow selama beberapa tahun terakhir konsisten negatif, hal tersebut berarti perusahaan akan perlu mencari tambahan dana dari luar untuk mengcover biaya operasi tersebut. Perusahaan dapat menambah hutang ke bank, yang akan semakin memberatkan beban bunga dimasa depan, atau dengan menjual aset. Dimana kita tau jelas kalau kedua pilihan tersebut, kuranglah ideal bagi company selain kategori FG. Selain itu, kita juga bisa mempelajari mengenai penambahan dan juga pelunasan hutang perusahaan melalui financing cash flow (meski hal tersebut juga bisa dilakukan dengan memperhatikan neraca bagian liabilitas).
3. Current Ratio
Current ratio merupakan rasio yang melambangkan aset lancar, yaitu kekayaan perusahaan yang mudah diubah menjadi uang tunai, terhadap liabilitas lancar, yaitu liabilitas yang akan jatuh tempo dalam waktu kurang dari 1 tahun mendatang. Current ratio yang ideal adalah diatas 150% dimana angka tersebut menandakan kemampuan likuiditas perusahaan secara jangka pendek yang baik. Bilamana anda menemukan sebuah emiten dengan current ratio dibawah 100%, maka saran saya adalah berhati hati dikarenakan bisa saja perusahaan tidak mampu melunasi hutangnya dan akhirnya harus berakhir pada PKPU (saham anda kemungkinan besar akan disuspen dan akhirnya kita harus belajar untuk merelakan).
4. Account Receivable and Inventory Turnover
Bila anda sudah lumayan lama terjun di pasar modal, mungkin anda pernah mendengar istilah value trap. Salah satu kategori value trap yang cukup umum ditemui adalah persediaan busuk. Ada beberapa company diluar sana yang seakan akan membukukan laba signifikan setiap tahun, namun laba tersebut malah digunakan untuk menambah persediaan hingga menggunung dimana bisa saja sebagian darinya merupakan stock yang tidak laku dan tidak bernilai. Untuk menghindari jebakan seperti itu, maka kita dapat menggunakan rumus (Inventory/Sales 1 year)*365 days untuk mencari berapa waktu yang perusahaan butuhkan untuk menjual stock yang tersedia. Bila hasilnya diatas 90 hari, maka kemungkinan besar persediaan tersebut merupakan barang tidak laku yang sudah out of trend. Kategori value trap yang kedua adalah ketika perusahaan mempunyai akun Piutang yang besar sekali. Bila bisa ditagih maka aman saja, namun bila terjadi penaikan piutang selama 5 tahun terakhir yang tidak masuk akal, maka anda harus mulai curiga. Bisa saja piutang yang tergelembungkan tersebut merupakan piutang si owner (diberikan pada entitas lain yang dikendalikan orang yang sama). Untuk menghindari kejadian seperti berikut, maka kita dapat menggunakan rumus (Account Receivable/Sales 1 year)*365 days. Bila hasilnya diatas 90 hari, hal tersebut berarti antara kecurigaan kita benar atau sang perusahaan menyalurkan piutang kepada konsumen yang sulit ditagih. Dua duanya buruk, sehingga lebih kita menghindari perusahaan tersebut.
Sekian untuk artikel kali ini. Pada artikel berikutnya saya akan membahas secara detail mengenai metode valuasi PER, termasuk kelebihan dan kekurangannya, serta kapan saat yang tepat untuk menggunakan rasio tersebut. Tentu akan disertakan juga beberapa case study agar ilmu yang anda dapatkan semakin holistik. Stay the course and glory awaits you at the finish line.
Salam cuan,
Filbert
Comments
Post a Comment